Friday, January 29, 2010

Remembering Death

Dulu waktu saya masih ingusan (literally), pernah ada seorang guru yang bilang gini: Kalo ada orang yang mengingat mati, paling tidak 20 kali dalam sehari, maka orang itu akan masuk surga. Tahu dong, betapa pintarnya saya waktu itu... tentunya didorong keinginan kuat untuk bisa masuk surga, saya mengingat mati, nggak tanggung-tanggung, baru selesai waktu subuh dan belum selesai waktu Dhuha, saya sudah mengingat-ingat mati lebih dari 20 kali. Kok bisa? Ya bisa, wong tinggal ngomong "ingat mati", trus diulang 20 kali. Hi hi hi.

Anyway, pembicaraan tentang ini tidak pernah menjadi hal tabu di rumah, karena entah kenapa, topik ini adalah salah satu topik favorit. Karena seringnya yang diomongin bukan tentang kematian itu sendiri, tapi tentang hal-hal terkait, misalnya nerusin sekolah dimana besok kalau salah satu dari ortu ada yang meninggal duluan. Apakah ibu tiri itu beneran suka ngerokin pake piso (hi hi hi). Apakah saudara tiri itu sejahat sodara-sodaranya Cinderella, etc. etc. Dan topik-topik itu masih terus berkembang sampai sekarang, walaupun mulai sedikit berbeda arahnya, misalnya, waaaa.. jenggotnya babe udah putih, udah tua atau aku kemaren utang di warung 200 perak soale gak ono susuk, dsb.

Dengan situasi seperti itu alangkah kagetnya ketika suatu saat ada seorang yang tiba-tiba marah karena kami membicarakan tentang kematian. Hmm.. marah is a downgrade. Murka tepatnya. "Nggak etis itu ngomongin tentang kematian, apa kalau sudah tua itu artinya sudah hampir mati?" Oooops. Dan sayapun terdiam. Langsung mingkem. Wah, lagi bercanda je. Kalau rambut sudah beruban, itu artinya maghrib menjelang. Perbanyak ibadah. Bukankah demikian? Yang muda aja bisa mati duluan, apalagi yang sudah tua, tinggal nunggu waktu toh?

Ah sudahlah. Kami yang lebih muda bicara tidak pada tempatnya. Maaf ya. 

Tapi ceritanya belum berakhir, karena keesokan harinya, ternyata bakul rujak langganan yang biasanya dijabanin paling enggak setahun sekali ternyata juga udah meninggal. Weeew. Pantesan aja beberapa bulan yang lalu warungnya tutup terus. Sekarang yang jualan istrinya. Dan simbah bakul rujak edisi pertama masih ada disana (yang meninggal itu bakul rujak edisi kedua), masih setia ngupasin mangga dan nanas. Kalo ketemu simbah itu, jadi inget sama Eyang Kakung yang dulu hobinya pergi beli rujak sama cucunya yang cuma pake kaos kutung dan celana pendek naik vespa, mbah itulah yang njualin. 

Hmm... how time flies. 

6 comments:

MamaNyu said...

oh, kalo versi keluargaku, ibu tiri itulah yang akan direbus di kuali dhowo dan sodara tiri akan dimasukkan kandang marmut.. >:))

okta zaida said...

oh ho oh yo? uban ki pengingat juga ya?? wooo jan aku yo wis tuwo brarti...time flew and brought me along

bung2 said...

Makin tua, makin sensitif, Sun. Harap maklum :D. Tur aku sepokat ik nek ngomongke soal kematian kuwi apik. Sebagai pengingat, tentu saja.

Anonymous said...

inget mati tp nek ra peduli ono opo setelah mati yo podo wae..

sunett said...

@ Princess of K: yeah.. that will make you think twice about becoming a stepmom, eh? :P Hmm... you can't do that though, in the name of the law. You're a government asset. Hi hi hi.

@ OZ : it brought everyone along...

@ bunga: nek ora sebagai pengingat njuk sebagai apa? sebagai peng-horror? ---> pardon my last word, i can't find the exact word. :P

@ pamumpuni: aku belum pernah teringat mati tanpa teringat apa yang akan terjadi setelahnya.. well, my train of thought seems to have a lotsa carriages. maybe you're rite. i don't know...

Anonymous said...

oh nek aset pemerintah ora iso dadi stepmom? yg bener??

he..he.. yo kebetulan koe peduli tentang opo setelah mati.. sik ra peduli akeh