Perjalanan ke Bromo ini bisa dibilang tidak direncanakan. Dulu, kami sudah merencanakan perjalanan ini, apa daya drama-drama ngga jelas membuat susunan keberangkatan berubah semua. Jadilah tinggal tersisa 2 orang. Dan berhubung yang satunya bawa koper, rasanya agak repot kalau harus travelling ala backpacker. Jadi ya kita pun alih perjalanan dengan ala koper. Telpon jasa tour instead of berburu kendaraan umum.
Kediri, sebagai kota terbesar ketiga di Jawa Timur, ternyata tidak punya hub yang bagus. Transportasi ke Surabaya dan Malang sangatlah terbatas. Kereta Api hanya ada Rapih Dhoho dan Penataran. Kemarin kami berhasil naik KA Rapih Dhoho ke Surabaya dengan tiket Tanpa Tempat Duduk. Akibatnya, kita berhasil duduk tapi sambil deg-degan, kalau yang punya kursi naik di stasiun berikutnya ya terpaksa kami turun. Alhamdulillah itu kursi selamat bisa didudukin sampe Surabaya. Walaupun sepanjang jalan harus memangku tas ransel. Ekonomi AC, Rp.5.500,- per orang. What do you expect? Wow, agak kaget juga karena kereta ini begitu murahnya, pantes aja orang-orang berlomba-lomba naik kereta ini. Harga Kediri-Surabaya (dan sebaliknya) jauh lebih murah dibandingkan dengan naik bus Ekonomi AC (Rp.15.000,-) atau Patas AC (Rp.30.000,-).
Sampai di Surabaya, kami turun di Stasiun Gubeng, yang mana penumpang Kereta Ekonomi harus keluar via Stasiun Gubeng Lama (seberang RS DKT), ngga boleh lewat pintu Stasiun Gubeng Baru. Duuuuh, Pak Jonan, kenapa sih harus dipisah-pisahkan? Beda kasta kah? Mendingan mana daripada ngga boleh berhenti sekalian? Entahlah.
Trus-trus? Kita dijemput ama Sopir dan tidur sepanjang jalan menuju Bromo.
Jam 3 pagi, dibangunin untuk ke Penanjakan. Sayangnya ada begitu banyak manusia di sana. Mumet liatnya. Ngga bisa menikmati sunrise dengan nikmat. Yang ada orang-orang yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Heran deh. Kenapa ngga pada menikmati aja itu sunrise dan serahkan urusan pengambilan gambar kepada fotografer profesional. Yang bikin sedih lagi, waktu sunrise tiba, malah pada teriak-teriak 'Huuuu... Eaaaaa' dan semacamnya, terkadang ada yang tepuk tangan. Weeee lhaaaa.... Tidakkah kaulihat kebesaranNya disana? Subhanallah. Rasanya bingung, bengong, amazed. Semua serba teratur. Di sisi yang lain, terlihat bulan purnama masih menampakkan diri.
To my other half, wherever you are right now,
When our time is come, I want us to be like the sun and the moon.
Both have their own timing, enlighten the world.
Though Juliet says the moon is inconstant,
yet it is always there.
Whether you can see it or not.
Jiiiieeee... ngelantur =))
Niwei, turun dari Penanjakan kami menuju lautan pasir untuk mendaki Bromo. Duh, perjalanan 1,5 km yang menyiksa. Berkali-kali rasanya pengen berhenti. Nggak sanggup deh. Untuk orang yang jarang olah raga rutin, ini bener-bener siksaan. Namun, cuma semangat aja yang bikin kami menolak tawaran naik kuda, dan berjuang naik ke atas. It's not about how fast or slow. It's about finishing what you have started. :D Ketika akhirnya sampai ke atas, rasanya wow, we're there. :D
Perjalanan 1,5 km yang sama ketika turun rasanya ngga ada apa-apanya. Cepet banget, bagaikan ngglundung. =))
"Ini naiknya sama turunnya ngga sebanding ya?"
"Iya, kayak orang menuju puncak karier, naiknya menggeh-menggeh, begitu udah di atas, dan tiba waktunya pensiun, rasanya kaya' ngglundung aja, ngga ada apa-apanya. Makanya kita harus bersiap dari sekarang, supaya ngglundung kita besok berasa fun. Dan kita sudah siap untuk itu."