Anyway, pembicaraan tentang ini tidak pernah menjadi hal tabu di rumah, karena entah kenapa, topik ini adalah salah satu topik favorit. Karena seringnya yang diomongin bukan tentang kematian itu sendiri, tapi tentang hal-hal terkait, misalnya nerusin sekolah dimana besok kalau salah satu dari ortu ada yang meninggal duluan. Apakah ibu tiri itu beneran suka ngerokin pake piso (hi hi hi). Apakah saudara tiri itu sejahat sodara-sodaranya Cinderella, etc. etc. Dan topik-topik itu masih terus berkembang sampai sekarang, walaupun mulai sedikit berbeda arahnya, misalnya, waaaa.. jenggotnya babe udah putih, udah tua atau aku kemaren utang di warung 200 perak soale gak ono susuk, dsb.
Dengan situasi seperti itu alangkah kagetnya ketika suatu saat ada seorang yang tiba-tiba marah karena kami membicarakan tentang kematian. Hmm.. marah is a downgrade. Murka tepatnya. "Nggak etis itu ngomongin tentang kematian, apa kalau sudah tua itu artinya sudah hampir mati?" Oooops. Dan sayapun terdiam. Langsung mingkem. Wah, lagi bercanda je. Kalau rambut sudah beruban, itu artinya maghrib menjelang. Perbanyak ibadah. Bukankah demikian? Yang muda aja bisa mati duluan, apalagi yang sudah tua, tinggal nunggu waktu toh?
Ah sudahlah. Kami yang lebih muda bicara tidak pada tempatnya. Maaf ya.
Tapi ceritanya belum berakhir, karena keesokan harinya, ternyata bakul rujak langganan yang biasanya dijabanin paling enggak setahun sekali ternyata juga udah meninggal. Weeew. Pantesan aja beberapa bulan yang lalu warungnya tutup terus. Sekarang yang jualan istrinya. Dan simbah bakul rujak edisi pertama masih ada disana (yang meninggal itu bakul rujak edisi kedua), masih setia ngupasin mangga dan nanas. Kalo ketemu simbah itu, jadi inget sama Eyang Kakung yang dulu hobinya pergi beli rujak sama cucunya yang cuma pake kaos kutung dan celana pendek naik vespa, mbah itulah yang njualin.
Hmm... how time flies.